Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Headline Newspendidikan

Sekelumit Tentang Komite Sekolah, Oleh: K.I Simaremare S.Pd

1
×

Sekelumit Tentang Komite Sekolah, Oleh: K.I Simaremare S.Pd

Sebarkan artikel ini

Komite Sekolah, kini sedang laris menjadi pilihan untuk tajuk penelitian mahasiswa pascasarjana. Penulis pernah menerima pertanyaan dari orang tua murid. Secara spontan ajukan pertanyaan yang amat mendasar, “Mengapa harus dibentuk Komite Sekolah?”.
Padahal kita sudah mempunyai Kementerian Pendidikan Nasional yang memang bertugas dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan. Orang tua ini juga memberikan alasan, karena negara telah mempunyai Dinas Pendidikan mulai di tingkat provinsi sampai tingkat kabupaten, bahkan juga telah ada Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) di tingkat kecamatan, yang dibentuk memang untuk melaksanakan urusan pendidikan di daerahnya masing-masing.
Sejak tahun 2002, sebagaimana telah kita ketahui, proses kelahiran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah adalah Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Salah satu landasan hukum yang melahirkan Kepmendiknas tersebut antara lain adalah UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2001 – 2005. Bab VII tentang Pendidikan dalam UU tersebut, antara lain mengamanatkan bahwa untuk melaksanakan desentralisasi bidang pendidikan perlu dibentuk ”dewan sekolah” di setiap kabupaten/kota, yang kemudian lebih dikenal dengan nama generik ”dewan pendidikan”. Kemudian di setiap satuan pendidikan dibentuk “komite sekolah/madrasah”.
Untuk menjawab pertanyaan yang sangat mendasar tersebut, perlu dijelaskan tentang perubahan paradigma pelaksanaan urusan pemerintahan di negeri ini sejak kelahiran UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Hampir semua urusan pemerintahan di negeri ini telah diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah kabupaten/kota, kecuali tiga urusan, yakni urusan politik luar negeri, keuangan, dan agama.
Dengan demikian, pendidikan termasuk urusan yang diserahkan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota. Oleh karena itu, untuk melaksanakan urusan dalam bidang pendidikan, komponen masyarakat tidak boleh tidak harus diajak bicara, harus ikut dilibatkan, mulai dari memberikan masukan dalam perencanaan dan juga dalam pengawasan dan penilaian program pendidikan. Itulah sebabnya dalam pelaksanaan urusan pendidikan, Kementerian Pendidikan Nasional, termasuk Dinas Pendidikan Provinsi dan Dinas Pendidikan Kabu-paten/Kota harus melibatkan komponen masyarakat sebagai mitra kerja sama. Termasuk satuan pendidikan, kepala sekolah juga harus menjalin hubungan dan kerja sama dengan komponen masyarakat yang bergabung dalam komite sekolah/madrasah.
Anggaran Komite Sekolah Dan Dewan Pendidikan
Satu aspek yang banyak ditanyakan adalah tentang sumber dana atau anggaran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Selama ini, Dewan Pendidikan melaksanakan kegiatan operasionalnya dengan dana subsidi dari pemerintah pusat dan sebagian juga berasal dari anggaran dari pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Bahkan, pada tahun ini subsidi stimulan Dewan Pendidikan pun tidak diberikan lagi karena alasan keterbatasan anggaran. Dalam aspek anggaran ini, PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan menyebutkan pada Pasal 192 (13) bahwa ”Pendanaan dewan pendidikan dapat bersumber dari (a) pemerintah, (b) pemerintah daerah, (c) masyarakat, (d) bantuan pihak asing yang tidak mengikat, dan/atau (e) sumber lain yang sah. Sumber dana tersebut juga secara eksplisit disebutkan untuk komite Sekolah.
Sangat disayangkan, ketentuan tentang anggaran ini telah menggunakan ”pasal karet” yang tertulis ”dapat bersumber”. Kalimat hukum seperti itu seyogyanya tidak digunakan. Pasal dengan nada yang mengharuskan saja belum tentu dilaksanakan secara bertanggung jawab, apalagi dengan kata ”dapat”.
Selain itu, perihal sumber anggaran ini sebenarnya secara eksplisit perlu disebutkan sumber anggaran yang selama ini telah ikut menghidupi Dewan Pendidikan, yakni dari DUDI (dunia usaha dan dunia industri), khususnya dari sumber dana yang dikenal dengan CSR (corporate social responsibility). Dalam hal ini, perusahaan memiliki kewajiban untuk menyisihkan sedikit keuntangannya untuk kepentingan masyarakat, termasuk kepentingan pendidikan. Beberapa Dewan Pendidikan sudah mulai melaksanakan kerja sama dengan DUDI ini, dan beberapa di antaranya sudah berhasil.
Larangan dan Pengawasan
Dalam PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan ini juga terdapat ketentuan tentang larangan dan pengawasan. Kegiatan apa saja yang tidak boleh dilakukan oleh Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah? Dewan pendidikan dan/atau komite sekolah/madrasah, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang:
a. menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan;
b. memungut biaya bimbingan belajar atau les dari peserta didik atau orang tua/walinya di satuan pendidikan;
c. mencederai integritas evaluasi hasil belajar peserta didik secara langsung atau tidak langsung;
d. mencederai integritas seleksi penerimaan peserta didik baru secara langsung atau tidak langsung; dan/atau
e. melaksanakan kegiatan lain yang mencederai integritas satuan pendidikan secara langsung atau tidak langsung.
Larangan ini harus dimaknai sebagai upaya untuk menjauhkan diri dari kemungkinan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah ikut-ikutan menumbuhsuburkan praktik korupsi dan KKN dalam pelaksanaan peran dan tugasnya untuk meningkatkan layanan pendidikan. Jangan sampai terjadi karena dengan alasan untuk melaksanakan peran dan tugasnya, lalu Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah juga melakukan cara-cara yang penuh nuansa koruptif dan KKN tersebut.
Malahan, kita memperhatikan bahwa Dewan Pendidikan lebih diposisikan sebagai agen pengawasan yang andal. Oleh karena itu Pasal 199 (1) menyebutkan bahwa: ”Pengawasan pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah”. Bahkan, pengawasan itu meliputi dua aspek penting, yakni pengawasan administratif dan pengawasan dari segi teknis edukatif yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku.
Sudah barang tentu, pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah bukanlah sebagai pengawasan fungsional, sebagaimana yang harus dilakukan oleh BPK, BPKP, Inspektorat Jenderal, maupun pengawas fungsional yang lain di tingkat daerah. Pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Penididkan dan Komite Sekolah adalah jenis pangawasan sosial atau masyarakat.
Namun demikian, Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah bisa saja meminta kepada lembaga independent auditor untuk membantu tugas Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, atas nama wadah peran serta masyarakat.
Peran Serta Masyarakat
Dalam Pasal 188 (2) PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, peran serta masyarakat telah dirumuskan sebagai berikut. Masyarakat menjadi sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan. Oleh karena itu, masyarakat mempunyai peran dalam bentuk (a) penyediaan sumber daya pendidikan, (b) penyelenggaraan satuan pendidikan, (c) penggunaan hasil pendidikan, (d) pengawasan penyelenggaraan pendidikan, (e) pengawasan pengelolaan pendidikan, (f) pemberian pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada pemangku kepentingan pendidikan pada umumnya; dan/atau (g) pemberian bantuan atau fasilitas kepada satuan pendidikan dan/atau penyelenggara satuan pendidikan dalam menjalankan fungsinya. Cukup banyak dan beragam kemungkinan peran yang dapat ditunaikan oleh masyarakat dalam urusan pendidikan.
Pasal 188 (1) bahwa ”Peran serta masyarakat meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan”. Bahkan dalam Pasal 188 (4) dinyatakan bahwa peran serta masyarakat secara khusus dapat disalurkan melalui dewan pendidikan tingkat nasional, dewan pendidikan tingkat provinsi, dewan pendidikan tingkat kabupaten/kota, komite sekolah, dan atau organ representasi pemangku kepentingan satuan pendidikan. Itulah sebabnya, dewan pendidikan, mulai dari dewan pendidikan tingkat nasional, provinsi, sampai dengan kabupaten/kota, serta komite sekolah diposisikan menjadi wadah peran serta masyarakat yang paling dominan untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan.
Akhir Kata
Demikianlah sekelumit telaahan terhadap beberapa pasal yang penting tentang Komite Sekolah yang tertuang dalam PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Mudah-mudahan, tulisan singkat ini dapat digunakan sebagai salah satu bahan sosialisasi kebijakan pemerintah tentang pendidikan di Indonesia, khususnya tentang Komite kolah. Amin.

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.