Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Headline Newspendidikan

OPINI : Dimensi Hukum Tentang Pungutan Dan Sumbangan Di Sekolah. Oleh : Dapot Tambunan ,SH

27
×

OPINI : Dimensi Hukum Tentang Pungutan Dan Sumbangan Di Sekolah. Oleh : Dapot Tambunan ,SH

Sebarkan artikel ini

Fenomena berbagai pungutan dan atau sumbangan di berbagai sekolah sering dan sangat meresahkan para orang tua siswa. Berbagai perangkat peraturan yang spesifik mengatur tentang jenis-jenis larangan pungutan pun telah diterbitkan.

Disisi lain Pemerintah menggulirkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dengan tujuan khusus untuk membebaskan pungutan bagi seluruh siswa jenjang pendidikan dasar. Sejak Angka Partisipasi Kasar (APK) SMP mencapai 98,2% pada tahun 2010, Pemerintah juga menggulirkan dana BOS untuk SMA. Namun, terlepas dari problematika yang dialami sekolah, masih tetap saja ada sekolah melakukan pungutan-pungutan dengan berbagai dalih dan ketidaktahuan batasan atas larangan yang dimaksud dalam aturan.

Seperti SMPN 6 Cibitung dan di SMAN 1 Setu. Menurut orang tua siswa SMPN 6 Cibitung, anaknya yang diterima menjadi peserta didik baru dimintai uang seragam Rp. 900.000,- untuk 3 pasang pakaian seragam. Kemudian buat bangunan prasarana olahraga  Rp. 200.000,- dan uang kurban Rp. 30.000,-.

Demikian di SMAN 1 Setu. Siswa baru ‘harus membayar sejumlah uang dengan nilai yang cukup fantastis. Siswa naik kelas pun masih ada dinamakan daptar ulang dan siswa membayar 200.000 / siswa. Padahal siswa telah membayar 300.000 / bulan semacam pungutan SPP.

Pada tulisan ini, saya memaparkan Dimensi Hukum tentang pungutan dan sumbangan dan tentang pengadaan pakaian seragam.

Pungutan dan Sumbangan –. Pungutan dan sumbangan memiliki definisi yang berbeda. Pasal 1 ayat (2) Permendikbud RI Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan Pada Satuan Pendidikan menyebutkan bahwa Pungutan adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa pada satuan pendidikan dasar yang berasal dari peserta didik atau orangtua/wali secara langsung yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan oleh satuan pendidikan dasar.

Sedangkan sumbangan dijelaskan pada ayat (3), sumbangan adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa yang diberikan oleh peserta didik, orangtua/wali, perseorangan atau lembaga lainnya kepada satuan pendidikan dasar yang bersifat sukarela, tidak memaksa, tidak mengikat, dan tidak ditentukan oleh satuan pendidikan dasar baik jumlah maupun jangka waktu pemberiannya.

Sekolah yang diselenggarakan pemerintah, dan/atau pemerintah daerah dilarang mengambil pungutan bagi biaya satuan pendidikan. Hal itu secara tegas diatur dalam Pasal 9 Permendikbud RI Nomor 44 Tahun 2012. Bahkan sekolah-sekolah yang dimungkinkan melakukan pungutan seperti sekolah dikembangkan/dirintis bertaraf internasional, sekolah yang diselenggarakan masyarakat yang tidak mendapatkan bantuan Pemerintah dan/atau pemerintah daerah tetap tidak diperbolehkan melakukan pungutan kepada peserta didik atau orang tua/walinya yang tidak mampu secara ekonomis, dikaitkan dengan persyaratan akademik untuk penerimaan peserta didik, penilaian hasil belajar/kelulusan peserta didik serta pungutan tersebut tidak diperbolehkan untuk kesejahteraan anggota komite sekolah atau lembaga representasi pemangku kepentingan lainnya.

Yang dapat dilakukan oleh sekolah yang diselenggarakan Pemerintah dan/atau pemerintah daerah hanya menerima sumbangan yang digunakan untuk memenuhi kekurangan biaya satuan pendidikan. Dan dimensi sumbangan dalam Permendikbud 44 Tahun 2012 adalah bersifat sukarela (tidak wajib), tidak memaksa, tidak mengikat dan jumlah maupun jangka waktunya tidak ditentukan oleh pihak sekolah, komite sekolah atau lembaga lain pemangku kepentingan satuan pendidikan.

Artinya bentuk-bentuk pungutan semacam uang komite dan uang pembangunan yang ditentukan jumlah dan jangka waktu pembayarannya tidak boleh dilakukan. Dan penting juga untuk dipahami bersama, pembangunan fisik semisal ruang kelas, rumah ibadah dan kendaraan operasional yang mendukung penyelenggaraan pendidikan di sekolah bukanlah tanggung jawab peserta didik atau orang tua/walinya untuk merealisasikannya.

Kepentingan tersebut merupakan kewajiban Pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Sehingga realisasi pembangunan fisik penunjang penyelenggaraan kegiatan belajar tersebut harus diupayakan pihak sekolah dengan mengusulkan kepada pemerintah propinsi melalui Dinas Pendidikan. Bila anggaran propinsi memang tidak memungkinkan merealisasikan pembangunan dalam jangka waktu yang singkat sedangkan kebutuhan sekolah mendesak, pihak sekolah dapat mewacanakan kebutuhan tersebut kepada orang tua/wali peserta didik melalui komite sekolah. Dan tetap yang boleh dilakukan adalah sumbangan bukan pungutan.

Dan sekolah menetapkan membayar dengan di patok seperti pungutan SPP yang diharuskan itu Salah Besar. Dimensi Hukum pungutan dan sumbangan ini hanya sebatas memenuhi kekurangan biaya satuan pendidikan. Sehingga pungutan demikian dan pungutan lain seperti uang titipan, uang kenang-kenangan jelas merupakan perbuatan Melawan Hukum.

Pakaian Seragam -. Hampir di setiap sekolah miliki ciri Pakaian Seragam. Ditenggarai dalam hajatan pengadaan pakain sergam ini, oknum Kepala Sekolah berkesempatan menambah pundi-pundi keuangannya.

Pakaian seragam secara hukum tidak dapat diwajibkan oleh pihak sekolah kepada peserta didik dan/atau orang tua/walinya, sebagaimana diatur dalam Pasal 181 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.

Pengadaan seragam sekolah diusahakan sendiri oleh orang tua atau wali peserta didik. Larangan mewajibkan pakaian seragam ini tidak hanya untuk jenis pakaian seragam nasional, tapi juga pakaian seragam khas sekolah. Pengadaan pakaian seragam khas sekolah dapat dilakukan ketika jenis dan model pakaian tersebut telah diumumkan secara terbuka kepada peserta didik dan/atau orang tua/walinya. Sehingga wali peserta didik yang telah mendapatkan informasi tentang jenis dan model pakaian seragam khas sekolah memiliki pertimbangan apakah mengusahakan sendiri atau membeli/menjahit melalui tawaran dari pihak sekolah dan/atau pihak terkait sekolah.

Karena pengadaan seragam khas sekolah, seperti pakaian seragam olahraga dan seragam praktik merupakan bentuk fasilitasi dan kemudahan serta alternatif pilihan kepada peserta didik dan/atau wali peserta didik. Artinya pengadaan pakaian seragam khas sekolah merupakan bentuk fasilitasi dan alternatif, bukan kewajiban yang ditetapkan oleh pihak sekolah kepada peserta didik dan/atau wali peserta didik.

Dan penting juga dipahami, tawaran menjahit sendiri atau membeli melalui sekolah tidak berlaku bagi peserta didik yang mendapatkan pakaian seragam bekas (layak pakai) yang diperoleh dari peserta didik yang telah tamat asalkan sesuai dengan jenis dan model yang ditetapkan pihak sekolah.

Untuk mewujudkan fungsi pendidikan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, memang perlu komitmen bersama pemerintah dan seluruh elemen masyarakat. Anggaran pendidikan 20 persen sebagaimana amanah dalam Pasal 31 UUD 1945 wajib dilaksanakan oleh pemerintah pusat, kabupaten/kota dan provinsi.

Pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan harus rutin melakukan evaluasi kebutuhan sekolah yang dinaunginya agar dapat menentukan program prioritas bersumber dari anggaran pendidikan daerah. Elemen masyarakat yang mampu secara ekonomi diharapkan berpartisipasi maksimal untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan di daerahnya atau minimal di sekolah tempat anaknya menempuh pendidikan.

Hak-hak pendidik/guru semisal tunjangan sertifikasi yang sering telat pembayarannya agar juga menjadi perhatian serius pemerintah daerah untuk menyelesaikannya. Apabila keterlambatan pembayaran sertifikasi tersebut bersumber dari Pemerintah Pusat, harus “dikejar” agar menemukan solusi, tapi bila kesalahan tersebut bersumber dari kelalaian Dinas terkait, ambil tindakan tegas untuk menyelesaikannya.

Bila perlu beri sanksi pemecatan bagi para birokrat yang ternyata ditemukan bukti sengaja tunjangan sertifikasi dibayarkan telat untuk mendapatkan keuntungan secara pribadi. Lembaga pendidikan bukanlah lembaga profit untuk mendapatkan keuntungan materi, semoga pelayanan pendidikan di Bumi Raflesia tercinta dapat berjalan dengan baik dan sejalan dengan aturan yang berlaku.

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.