JAKARTA – POST KEADILAN Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) menyikapi pemecatan Menteri Kesehatan Terawan Putranto dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
SMSI menilai, jika pemecatan dokter Terawan terkait digital subtraction angiography (DSA), lalu bagaimana nasib praktek DSA dokter dokter lainnya yang sudah berjalan di Indonesia.
Diketahui, rapat bersama Komisi IX DPR, Senin, 4 April 2022 membahas alasan pemberhentian mantan Menteri Kesehatan Terawan Putranto dari keanggotaan IDI melalui rekomendasi Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK).
MKEK menilai ada masalah besar pada metode digital subtraction angiography (DSA) atau ‘cuci otak’ yang diperkenalkan oleh Terawan.
Perwakilan MKEK, Dokter spesialis farmakologi klinik yang membidangi bidang obat, Prof Rianto Setiabudi, memaparkan terdapat bagian-bagian tertentu dari disertasi Terawan yang mengandung kelemahan substansial.
“Saya berpendapat, dokter sekaliber Terawan yang pernah menjadi ketua organisasi dokter militer dunia, ICMM dan memimpin Majelis Etik Kedokteran RSPAD selama dua tahun tentu telah mempersiapkan disertasi DSA dengan matang dan cermat,” kata Ketua Umum Serikat Media Siber Indonesia, Firdaus dalam keterangan resminya, Selasa, (5/4).
Menurutnya, distertasi DSA telah diuji secara ilmiah dihadapan sejumlah guru besar Unhas.
“Saya mengenal dokter terawan sewaktu saya pasang ring di RS Gatot Subroto. Waktu itu, beliau telah Riset tentang DSA dan bahkan telah melahirkan 12 jurnal internasional dan enam orang doktor, termasuk diri Terawan,” ucap Firdaus.
Begitupun saat menyelesaikan program doktoralnya di Unhas Makasar, Terawan menyusun disertasi dengan judul “Efek Intra Arterial Heparin Flushing Terhadap Regional Cerebral Blood Flow, Motor Evoked Potentials, dan Fungsi Motorik pada Pasien dengan Stroke Iskemik Kronis”.
“Yang menjadi pertanyaan masyarakat, jika dokter Terawan dicabut ijin prakteknya karena terkait DSA yang dianggap mengandung kelemahan substansial, bagaimana dengan praktek-praktek yang dilakukan oleh para dokter di sejumlah rumah sakit?” tanya Firdaus.
Kemudian, tiba tiba ada oknum dokter di salah satu rumah sakit yang mengaku-ngaku murid dokter Terawan.
“Bisa jadi motifnya untuk tujuan menggaet pasien,” ungkap Firdaus yang pernah menjadi Ketua PWI Banten dua periode.
Terawan sendiri, tambah Firdaus, tidak mau mempatenkan temuannya itu karena merasa sebagai anugerah dari Tuhan.
Sehingga, dengan senang hati dia akan melatih para dokter yang ingin belajar darinya.
“Sudah banyak dokter yang diajarkan teknik DSA secara langsung oleh dokter Terawan, apakah mereka harus dicabut juga ijin prakteknya? Juga para dokter lain yang tidak berguru dengan Terawan namun beroperasi di sejumlah rumah sakit lainnya dan tidak pernah melakukan uji klinis apakah dipecat juga?” sergah Firdaus.
Terawan itu, kata dia, termasuk dokter yang kreatif dan inovatif serta visioner. “Mengapa harus dipermasalahkan dan dipecat dari keanggotaan IDI? Bukankah bagi masyarakat yang penting dokter itu bisa memberikan manfaat kesehatan dan berguna bagi pasiennya?” tandas Firdaus.