Ancaman Dewan Pers (DP) terhadap media dan pemerintah daerah yang menjalin kerja sama tanpa surat ijin (baca verifikasi) dari Dewan Pers cukup membuat sejumlah kepala daerah dan pimpinan media terusik karena takut terdampak masalah hukum. Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia atau BPK RI menjadikan perijinan DP sebagai acuan dalam melakukan audit keuangan pemerintah terkait kerja sama dengan pihak media atau perusahaan pers.
Dengan menempatkan perijinan DP sebagai salah satu dasar hukum melakukan audit maka BPK RI secara sadar hukum menjadikan Dewan Pers sebagai lembaga pemerintahan dan bukan lembaga independen.
Dewan Pers seharusnya menolak kebijakan atau keputusan BPK RI tersebut agar marwah Dewan Pers sebagai lembaga independen tetap dijaga sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tentang Pers bahwa dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional maka dibentuk Dewan Pers yang independen.
Sangat disesalkan bukannya menolak, Dewan Pers justeru ‘berselingkuh’ dengan BPK RI. DP menggunakan kebijakan BPK RI tersebut sebagai senjata untuk menakut-nakuti pemerintah daerah agar memutus kontrak kerja sama atau menolak kerja sama dengan media yang belum memiliki perijinan DP.
Sikap DP ini sungguh sangat memalukan karena sudah mengkhianati undang-undang pers.
Kelihatan sekali DP tidak ada kerjaan dan hanya sibuk dan fokus pada urusan sepeleh. Kerja sama media dengan pemerintah daerah sebetulnya (maaf) adalah praktek menjual idealisme pers yang dapat merusak upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional.
Perusahaan pers berhak tersinggung dan marah dengan sebutan (maaf) ‘melacurkan diri’ jika melakukan kerja sama dengan pemerintah.
Sebab kenyataannya DP menelanjangi diri sendiri karena tidak paham fungsi Pers nasional sebagai alat kontrol sosial. Kalau semua media bekerja sama dengan pemerintah maka siapa yang akan menggantikan peran pers untuk melakukan kontrol .
Selama bertahun-tahun DP tidak memiliki visi dan misi yang jelas untuk menjalankan alasan utama dibentuknya DP yaitu untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional.
Perusahaan pers atau media pun selama bertahun-tahun digiring ke dalam situasi untuk ikutan ‘melacurkan diri’. Itu namanya DP kurang kerjaan. Selama 20 tahun sejak UU Pers tahun 1999 disahkan, DP tidak memberi kontribusi nyata terhadap pengembangan kemerdekaan pers.
Kehidupan Pers tidak akan pernah terpisah dari urusan Perusahaan Pers. Perusahaan Pers adalah inti dari kemerdekaan per situ sendiri. Bagaimana memberdayakan perusahaan pers ini adalah kunci keberhasilan upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan kehidupan pers nasional.
Selama ini DP sepertinya tidak paham soal itu atau mungkin pura-pura bodoh.
Kenyataannya perusahaan pers seharusnya mampu menghidupi dirinya dari para pengguna jasa periklanan atau perusahaan-perusahaan yang membutuhkan sarana promosi produk-produk yang dipasarkannya. Belanja iklan dari pengguna jasa periklanan itu lah yang patut diperjuangkan DP untuk menghidupkan perusahaan pers.
Fokusnya harus ke situ bukan ke kerja sama pemerintah. Ada dana belanja iklan nasional 150 triliunan tiap tahun yang berpotensi mensejahterakan wartawan lewat perusahaan pers namun hanya dimonopoli konglomerat media.
Parahnya, milyaran rupiah anggaran DP sebagian besar habis hanya untuk urusan sepeleh verifikasi media dan uji kompetensi wartawan yang tidak pernah selesai. Anehnya, dua urusan itu yang paling dominan dikerjakan DP. Bisnis UKW pun jadi program utama DP karena menghasilkan dana milyaran dari wartawan sebagai objek sasaran.
Ada hal yang menarik yang patut menjadi permenungan pers nasional, dimana ada banyak rekan wartawan yang mengaku senior dan berlatar belakang media besar serta menjabat sebagai petinggi di jajaran organisasi konstituen DP, kelihatan lantang berkoar-koar dan muncul ke permukaan hanya pada saat mengeluarkan statement atau pernyataan ketika ada wartawan yang menjadi korban kekerasan. Sesudah itu tenggelam bak ditelan bumi.
Tidak ada satupun yang mau peka atas kondisi ril bahwa ada 43 ribu media yang di dalamnya terdapat ratusan ribu wartawan yang terancam kehilangan pekerjaannya karena ditutup akses ekonominya dan dihina dengan sebutan abal-abal oleh DP.
Di sisi lain, 43 ribu media yang disebut abal-abal itu hanya pasrah dan diam saja. Bahkan cenderung tunduk pada ancaman DP. Seolah tidak ada pilihan lain selain ‘mengemis’ kerja sama dengan pemerintah dan pasrah pada kesewenangan Dewan Pers.
Dewan Pers Indonesia (DPI) mengajak seluruh wartawan dan media se Indonesia di luar konstituen Dewan Pers agar mau bersatu melawan tirani Dewan Pers. Gerakan menulis berita perjuangan merebut belanja iklan nasional harus dikumandangkan ke seluruh penjuru tanah air.
DPI menghimbau agar dalam menulis berita dapat menggunakan data dan nara sumber yang berkompeten sehingga tercipta opini positif bahwa belanja iklan nasional harus dishare ke daerah agar tidak hanya dinikmati dan dimonopoli oleh perusahaan pers milik segelintir konglomerat media di Jakarta.
Pers lokal juga harus mampu mendorong pemerintah daerah dan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah memperjuangkan nasib media lokal dan wartawan lokal untuk mendapatkan kesejahteraan melalui pembagian belanja iklan nasional. Hampir seratus persen belanja iklan nasional dikuasai oleh perusahaan pers di Jakarta. Padahal yang berbelanja produk yang dijual di pasaran adalah masyarakat lokal.
Seharusnya perputaran uang masyarakat lokal yang lari ke Jakarta tersebut kembali ke daerah dalam bentuk belanja iklan. Semangat ini yang harus ditularkan ke seluruh media lokal.
Jika ingin pers Indonesia sejahtera dan merdeka dari diskriminasi dan kriminalisasi maka masyarakat pers jualah yang harus memperjuangkan hal itu.
Dewan Pers yang selama ini membiarkan ‘kemiskinan’ melanda perusahaan pers harus dibangunkan dari tidur panjangnya. Berhentilah ‘berselingkuh’ dengan BPK RI. Kembali lah ke jalan yang benar. Bangun lah ngeri ini dengan informasi yang benar bukan ‘pencitraan’ palsu yang mendustai rakyat. Hentikan ‘pelacuran’ media dengan pemerintah agar rakyat dicerdaskan bukan dibodohi.
Topeng pencitraan harus dilepas dari wajah pemerintah yang selama ini dilindungi oleh kontrak kerja sama dengan pemerintah.
Tunjukan rasa malu kepada generasi penerus pers Indonesia. Pers harus bangkit. Negeri ini sudah penuh dengan konflik yang tak berujung akibat potret negative yang selalu dibangun oleh media mainstream karena kebutuhan politik dan industri. Rakyat sudah jemu dengan situasi politik yang seolah-olah negeri ini mau runtuh. Padahal masih banyak rakyat miskin di seluruh penjuru tanah air menaruh harapan tersentuh pemberitaan pers.
Saatnya kita jujur pada hati nurani bahwa negeri ini butuh pers yang benar-benar independen.
Jakarta 24 Oktober 2019.