Menakar Kualitas Kenegarawanan Jokowi
Sebagai kepala negara dan pemerintahan, Presiden Republik Indonesia harus netral. Demikian juga dengan pembantu presiden, para menteri dan kepala lembaga tidak boleh memihak kepada partai politik dan pasangan calon. Akan tetapi karena Jokowi memimpin koalisi gemuk Indonesia Maju, maka setiap hari kita saksikan akrobat politik cawe- cawe para menteri dengan latar belakang Ketum Parpol dan Ketum Relawan Jokowi. Mereka dengan restu Jokowi saat ini lebih banyak mengurusi kegiatan politik, daripada tugas dan tanggung jawabnya sebagai menteri. Mereka yang aktif menjadi tim sukses bakal capres/ cawapres Prabowo/ Gibran (putra sulung Jokowi), adalah para menteri seperti Airlangga Hartarto, Zulkifli Hasan, Bahlil Lahadalia, Budi Arie Setiadi.
Para menteri tersebut sering memanfaatkan berbagai fasilitas negara berupa kantor, kendaraan, rumah dinas untuk pemenangan Prabowo- Gibran. Salah satunya saat Gibran safari politik, sowan ke Zulkifli Hasan di rumah dinas Menteri Perdagangan di Jalan Widya Chandra IV, Jakarta Selatan. Tentu materi pertemuan tidak terkait tingginya harga beras, namun pasti berkaitan dengan “restu” PAN kepada putra Jokowi untuk menjadi bakal cawapres. Begitu juga dengan pertemuan Jokowi dengan para menteri yang juga ketum Parpol koalisi pendukung putranya, baik sendiri- sendiri maupun bersama- sama di istana negara maupun istana merdeka pasti tidak hanya berkaitan dengan tugas menteri.
Maka makan siang bersama bakal capres kemarin, dan rencana makan siang bersama bakal cawapres besok sama sekali tidak berkaitan dengan netralitas pemerintahan yang dipimpin Jokowi- Ma’ruf Amin. Kegiatan tersebut hanya lip service dan upaya membangun citra netral, menghindari tuduhan bahwa Jokowi melakukan abuse of power demi memenangkan putranya. Makan siang tersebut juga tidak serta merta memberi label negarawan kepada Jokowi.
Sebab dalam KBBI, kata ne·ga·ra·wan dan ahli dalam kenegaraan; ahli dalam menjalankan negara (pemerintahan); pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan. Maka hanya pemimpin politik mengutamakan kepentingan rakyat, bangsa dan negara yang layak disebut negarawan. Negarawan adalah pemimpin politik yang telah tuntas (selesai) dengan kepentingan diri sendiri, istri, anak, menantu, cucu, keluarga, dan kerabatnya.
Negarawan tidak memiliki vested of interest, tidak butuh puja puji, pun pernyataan setia dan tegak lurus dari pengikut dan loyalisnya. Negarawan adalah pemimpin yang berani mengakui kesalahan dan bertanggung jawab. Mundur atau berhenti saat gagal, tidak membiarkan anak buahnya bermanuver politik untuk menambah periode (3 periode) atau menunda Pemilu. Negarawan adalah orang yang berani memecat menteri yang menampar mukanya dengan bergerak mengusulkan penambahan periode atau penundaan Pemilu.