Jakarta, PostKeadilan – Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 14 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), dituding miliki banyak kelemahan hingga memicu kekacauan dan menuai masalah di sejumlah daerah.
Hal ini disampaikan Sekretaris Jenderal FSGI (Federasi Serikat Guru Indonesia) Heru Purnomo menanggapi kekisruhan warga di sejumlah daerah tentang PPDB. Dia mengatakan pengertian pada beberapa pasal Permendikbud 14/2018 itu cukup bias.
“Kami rapat dengan teman-teman di daerah dan menerima laporan bahwa PPDB tahun ini makin gaduh,” ujarnya kepada sejumlah media di Jakarta, Rabu (11/7/2018).
Masalah pertama, Heru menyoroti kelemahan Permendikbud 14/2018 pada Bab III tentang Tata Cara PPDB.
Pada Bagian Keenam tentang Biaya di pasal 19 berbunyi, “Pemprov wajib menerima dan membebaskan biaya pendidikan bagi peserta didik baru yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu yang berdomisili dalam satu wilayah daerah provinsi paling sedikit 20 persen dari jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima dibuktikan dengan SKTM.”
Sementara pada Bagian Keempat tentang Sistem Zonasi, dijelaskan bahwa sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat.
Sistem zonasi ini mulanya diterapkan sebagai strategi pemerintah untuk mewujudkan pemerataan akses dan mutu pendidikan secara nasional. Namun kenyataan di lapangan berkata lain.
Dari jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima, minimal sekolah menerima 90 persen calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat. Sisanya, sebanyak lima persen untuk jalur prestasi dan lima persen lagi untuk anak pindahan atau terjadi bencana alam atau sosial.
Mulai dari pasal satu sampai enam Bagian Keempat tentang Sistem Zonasi, tidak satu pasal pun menyebut SKTM.
Dari pemahaman pasal di atas, kata Heru, masalah SKTM tidak ada sangkut pautnya dengan proses penerimaan siswa baru. Dengan demikian, penerimaan dengan jalur SKTM sebagaimana terjadi di Jawa Barat dan Jawa Tengah tidak berlandaskan payung hukum.
“Dalam praktiknya, ternyata daerah mengimplementasikannya beda. Di dalam PPDB ini ada jalur (menggunakan) SKTM, ini (pemerintah) daerah menggunakan aturan yang mana?” kata Heru.
Masalah kedua terlihat pada pasal 16 ayat 2 yang berbunyi, “Domisili calon peserta didik yang termasuk dalam zonasi sekolah didasarkan pada alamat Kartu Keluarga (KK) yang diterbitkan paling lambat enam bulan sebelum pelaksanaan PPDB.”
Menurut Heru, pasal tersebut tidak mengukur dengan jelas alasan migrasi dukcapilnya dari suatu daerah ke daerah lain. Dia menilai banyak migrasi dukcapil digunakan hanya untuk memperoleh peluang masuk sekolah negeri atau sekolah favorit.
“Akibatnya, tertutup peluang siswa alih jenjang di zona tersebut,” ujar Heru.
Masalah ketiga, terkait pengertian ‘radius terdekat’ yang terdapat pada pasal 16 ayat 1 berbunyi, “Sekolah yang diselengarakan oleh Pemda wajib menerima calon peserta didik berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah dengan kuota paling sedikit 90 persen dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima.”
Menurut Heru, pasal tersebut membatasi sekolah-sekolah yang ada di pusat kota dan jauh dari konsentrasi pemukiman warga. Sehingga, sekolah-sekolah yang saling berdekatan itu kekurangan pendaftar.
Kelemahan pasal tersebut juga merugikan sekolah-sekolah yang tidak terpenuhi daya tampungnya. Akibatnya, guru di sekolah itu tidak terpenuhi jumlah jam mengajar 24 jam. Mereka terancam tak mendapat tunjangan sertifikasi yang selama ini diterima.
“Kalau sekolah enggak kebagian murid, guru mengajar apa? (Jam mengajar) kurang dari 24 jam seminggu. Akhirnya, dia enggak bisa mendapat tunjangan sertifikasi guru,” ucap Heru.
Lebih lanjut Heru juga menilai penyimpangan praktik PPDB sistem zonasi di daerah dari pedoman Permedikbud 14/2018 lantaran kurang sosisalisasi.
Menurutnya, Kemendikbud tidak memberikan petunjuk teknis yang jelas mengenai PPDB. Seharusnya, dinas pendidikan di level provinsi/kabupaten/kota memiliki pemahaman teknis yang sama.
“Kami menyimpulkan ada misunderstanding terhadap permendikbud. Nah, sekarang apa pemerintah pusat alias Kemendikbud mau disalahkan jika disebut kurang sosialisasi? Pasti akan balik menyalahkan pemda dengan mengatakan, ‘Kan Permendikbud 14/2018 sudah jelas, kenapa pemda enggak bisa menginterpretasikannya?” jelas dia.
Melihat kegaduhan-kegaduhan PPDB yang bersandar pada Permendikbud 14/2018 itu, FSGI pun mencoba merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, Bab III Bagian Keenam perlu diperbaiki, khususnya pasal 19 ayat 1-3 sehingga tidak menimbulkan kerancuan-kerancuan dalam alih jenjang baik dari SMP ke SMAN/SMKN dalam bentuk PPDB jalur SKTM.
Heru mengatakan perbaikan tersebut bisa dengan membuat Surat Edaran Mendikbud untuk menjelaskan secara gamblang tentang pasal-pasal yang dianggap bermasalah.
“Sebab untuk perbaikan Permendikbud tentu membutuhkan waktu agak lama, sedangkan PPDB sedang berlangsung,” imbuhnya.
Kedua, perlu ada penegasan alasan pada pasal 16 ayat 2 dalam migrasi dukcapil dalam satu KK paling lambat enam bulan.
Ketiga, Kemendikbud bersama Dinas Pendidikan terkait seharusnya memetakan kembali zonasi secara cermat hingga tingkat kelurahan/desa. Selain itu perlu ada peningkatan sarana pendidikan seperti mendirikan sekolah-sekolah di tiap kecamatan untuk alih jenjang.
“Hal ini agar terjadi pemerataan pendidikan, meningkatkan anggaran pendidikan untuk kemajuan pendidikan dasar dan menengah,” sebut Heru.
Keempat, Heru mengimbau kepada para orang tua dan pengurus RT/RW agar bertindak jujur terkait SKTM. Pembuatan SKTM oleh oknum keluarga mampu hanya demi bisa bersekolah di sekolah favorit tertentu, dapat merugikan peluang calon siswa lainnya. (R-01/BS)