Masih terlintas di benak, bagaimana kondisi negara di bawah pemerintahan Susilo Bambang Boediono (SBY)-Boediono tentang penanganan korupsi yang ‘tragis. Negara seperti tidak hadir ketika terjadi ketidakadilan di mana-mana sehingga terjadi berbagai kekerasan yang dilakukan masyarakat ketika itu.
Ketidakadilan ini berawal dari amburadulnya Pemilu 2009 yang dimenangi SBY-Boediono. Mantan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Yusril Ihza Mahendra lantas mengungkap kasus IT KPU yang diusut KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) saat dipimpin Antasari Azhar. Namun ujungnya, Antasari malah dijebloskan ke penjara dengan tuduhan pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen.
Yusril juga mengungkap KPK menjadi mandul ketika Bibit Samad Rianto-Chandra Hamzah dijadikan tersangka saat sedang mengusut kasus bailout Bank Century. Komjen Susno Duadji juga senasib.
Kalau kita membaca Pembukaan UUD 1945, kita akan menemukan kata-kata yang penuh makna, yakni negara yang kita bangun ini bertujuan untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam kerangka itulah, kita membentuk pemerintahan untuk menjalankan kekuasaan atas nama negara.
Pemerintahan SBY-Boediono menjalankan kekuasaan pemerintahan negara melalui Pemilu yang buruk di tahun 2009 sejak dilantik 20 Oktober 2009. Sejak awal, Pemilu yang buruk dengan manipulasi daftar pemilih, IT KPU yang amburadul dan dugaan penggunaan dana bailout Bank Century untuk membiayai kampanye Pilpres SBY Boediono, sejak awal telah menyebabkan Pemerintah baru ini mengalami krisis kewibawaan.
Memang, apa yang dikemukakan ini baru bersifat dugaan. Namun sikap defensif pemerintah dan kekuatan-kekuatan politik pendukungnya terhadap semua permasalahan diatas, secara politik justru semakin mempreteli kewiwabaan Pemerintah.
Soal manipulasi data pemilih misalnya pernah menjadi angket di DPR yang lama. Namun DPR baru hasil Pemilu 2009 tidak meneruskan penyelidikannya, padahal menurut UU Angket, DPR baru berkewajiban meneruskan angket itu.
Negosiasi politik antar partai dalam penyusunan KIB II, nampaknya telah menenggelamkan kewajiban DPR baru sewaktu itu untuk meneruskan hak angket tersebut. Penyelidikan terhadap amburadulnya IT KPU yang diduga kuat memainkan peranan besar dalam manipulasi Pemilu dan Pilpres, telah menelan korban dengan dijebloskannya Antasari Azhar ke dalam penjara dengan tuduhan yang mencengangkan, yang hingga kini tetap misteri.
Antasari tahu seluk beluk IT KPU dengan yang dibangun dengan biaya besar, termasuk tahu siapa rekanan yang memenangkan pengadaan peralatan IT itu. Dia baru saja berniat menyelidiki, belum apa-apa, tapi nasibnya keburu mengenaskan. Akhirnya rencana menyelidiki IT KPU kandas bersamaan dengan dijebloskannya Antasari ke dalam tahanan.
Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah lain lagi ceritanya. Niat mereka untuk menelusuri bailout Century menjadi kandas dengan isu yang sengaja ditimpakan kepada mereka, penyuapan. Sampai sekarang status Bibit dan Chandra masih tersangka. Surat Penghentian Penyidikan terhadap mereka telah ditolak pengadilan. Kini kabarnya sedang diuapayakan Kasasi ke Mahkamah Agung. KPK menjadi lumpuh dengan kasus yang menimpa tiga pimpinannya ketika itu.
Sementara Susno Duadji yang mulai buka mulut hal-hal terkait dengan Century, dijebloskan ke dalam tahanan dengan tuduhan korupsi ketika menjadi Kapolda Jawa Barat. Sejak itu, tiga institusi penegak hukum, KPK, Kepolisian dan Kejaksaan seolah menjadi berhadap-hadapan satu sama lain. Padahal, Presiden berkewajiban menjaga harmonisasi antara lembaga penegak hukum.
Konflik terbuka tiga lembaga ini berakibat merosotnya kewibaan aparatur penegak hukum. Kalau kewibawaan aparatur penegak hukum rusak, maka krisis kewibawaan akan semakin melebar.
Rakyat tak percaya penegakan hukum dilakukan dengan niat yang tulus demi tegaknya hukum. Penegakan hukum hanyalah alat permainan untuk menutupi dan membela kepentingan. Negara akhirnya terjerumus kepada krisis kewibawaan yang kian dalam.
Dalam suasana krisis seperti itu, Presiden SBY ‘bak Raja ketika itu masih berupaya untuk membangun citra memberantas korupsi. Namun upaya ini tak berhasil memulihkan citranya, kendatipun bagi SBY, citra adalah Panglima! Sejumlah kasus lama dibongkar-bongkar.
Seperti kasus penyuapan sejumlah anggota DPR dalam pemilihan Miranda Gultom sebagai Deputi Senior Guberbur BI. Kasus Sisminbakum diangkat kembali, walau sejak awal awam pun tahu ada rekayasa dibalik semua itu. Bahkan para politikus partainya SBY yang terlibat korupsi pun di proses KPK. Sadar atau tidak, justru politkus yang tertangkap KPK itu pun turut ‘bernyanyi’ tentang ‘jeleknya prilaku Sang Raja.
Namun, kalau menyinggung bailout Century, segala upaya dilakukan agar mega skandal ini tidak terkuak, karena akan menohok substansi legalitas Pemilu 2009 dengan komposisi anggota DPR waktu itu, dan Pilpres 2009 dimenangkan SBY-Boediono.
IT KPU kini sudah hilang dari ingatan publik. Padahal, kalau ini terkuat, akan ketahuan juga bagaimana sesungguhnya rekayasa Pemilu 2009 dilakukan. Apa yang dikemukakan di atas hanya dipahami oleh masyarakat kelas menengah dan kelas atas. Masyarakat kelas bawah, walaupun mendengar berita, mungkin kurang mampu mencerna dan kurang menaruh perhatian tentang hal-hal yang tidak secara langsung mengenai kehidupan mereka.
Namun ketidakadilan tetap mereka rasakan, ketika pemerintah yang tengah mengalami krisis kewibawaan sibuk membela dan mempertahankan diri dengan membangun citra diri yang bagus dan aduhai, telah lalai mengantisipasi dan menyelesaikan hal-hal yang berpotensi menjadi konflik di kalangan masyarakat kelas bawah.
Pemerintah SBY tetap saja tak kunjung mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat yang terus terpinggirkan dalam kemiskinan yang makin dalam. Lapangan kerja dan lapangan berusaha begitu sulit sehingga semakin mendorong meningkatnya kejahatan.
Rasa aman rakyat hilang, seiring dengan merosotnya kewibawaan Pemerintah. Konflik antar kelompok dalam masyarakat terjadi di mana-mana dengan aneka latar belakang isyu, etnik, agama, premanisme dan terorisme. Rakyat yang jengkel mulai menyerbu kantor polisi yang menjadi simbol negara dalam melindungi bangsanya. Namun apa yang terjadi, polisi justru melipatgandakan kewaspadaan untuk melindungi diri sendiri dari ancaman teroris dan penjahat.
Kalau aparat keamanan sibuk melindungi diri sendiri, bagaimana mungkin akan mampu melindungi rakyat? Ketika ketidakadilan makin meluas, negara seperti tidak hadir. Padahal negara berkewajiban melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia.
Ketika wilayah negara diterobos oleh petugas negara lain, negara juga tidak menunjukkan ketegasan sikap saat itu. Negara seakan tak hadir melindungi tumpah darah Indonesia dan membiarkan harga dirinya terinjak-injak. Sungguh tragis nasib bangsa dan negara yang dipimpin Presiden SBY-Boediono itu.
Pasca SBY tak lagi memimpin. ‘Ntah ide bagaimana, anak sulungnya, Agus yang masih aktif bertugas di TNI disorongkan maju ikut Pilgub DKI. SBY yang ahli strategi ini mengendus jelas, lawan kuat anaknya ntuk rebut Kursi DKI adalah Ahok.
Ujar mengatakan, mencari kesalahan orang adalah semudah membalikkan tapak tangan. Para penegak hukum, Antasari, Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah serta Susno Duadji dan sebagainya yang nomor wahid saja sudah menjadi ‘korban ketidakadilan. SBY pun ‘bermain..
Ahok yang getol ‘hajar pejabat korupsi, karena dia non muslim, dituding habis-habisan meninta agama Islam. Padahal banyak pendapat dari tokoh-tokoh muslim sebut, Ahok tak menista agama. Namanya SBY ‘bermain, siapa yang berani.? Mau dipenjara.??
Bahkan Jowoki, Presiden bertubuh kurus ini pun terlihat ‘keder hadapi seniornya ini. Meski Jokowi dan jajarannya mengetahui dan tampak marah dengan prilaku Polikus Besar itu karena tunggangi aksi bela Islam, namun belum berani mengambil sikap tegas.
Tudingan menista agama ke Ahok, digadang-gadang ormas FPI yang dipimpin Rizieq. Rizieq yang tidak punya kerjaan yang pasti ini, miliki sejumlah mobil mewah dan rumah. Di depan public, Ahok dikatakannya menista agama. Namun ketika Rizieq sebut pemimpin non muslim adalah kafir, apakah itu juga bukan menista agama.? Apakah di ‘Negara Pancasila ini tidak diperbolehkan pemimpin pemerintahan beragama Budha, Hindu, Protestan dan Katolik.? Parahnya lagi, bahkan Rizieq dan anteknya pun berani menjelek-jelekan symbol Negara (Red: Lihat You Tube).
Kewibawaan Negara, Polisi, TNI dan Kejaksaan dibawah kepemipinan Jokowi, kini sedang di uji kembali. Sadar atau tidak, ratusan juta masyarakat Indonesia pastinya bertanya-tanya. Mengapa negaraku ‘takut menegakkan keadilan.? Apakah akan selalu korban, orang-orang yang berani berantas korupsi.? Semoga Pemerintahan Jokowi-Yussuf Kalla tidak takut tegakkan keadilan, itulah harapan rakyat.
(Oleh : K.I.Simaremare, S.Pd)