Kelima, bahwa Presiden Jokowi diminta untuk tidak menjadikan hasil sidang TPA sebagai mekanisme tunggal dalam penentuan Penjabat Gubernur. Kelompok politik pragmatis diduga terlibat dalam proses penentuan sejumlah nama yang telah diumumkan Ngabalin, baik dalam proses awal hingga di sidang TPA.
Keenam, bahwa Indonesia saat ini dalam kondisi yang aman, tenteram, dan damai. Sehingga tidak ada hal ikhwal kegentingan yang memaksa untuk mengangkat aparat TNI dan Polri aktif sebagai Penjabat Gubernur. Sebagai pemimpin sipil, maka Penjabat Gubernur harus ASN atau aparatur negara non ASN yang telah alih status menjadi ASN. Alih status dari aparat TNI dan Polri menjadi ASN tidak dapat dilakukan hanya untuk kepentingan tunggal karena posisi Penjabat Gubernur.
Ketujuh, bahwa munculnya nama- nama aparat TNI dan Polri aktif tanpa alih status menjadi ASN tidak memenuhi syarat. Meski aparat TNI dan Polri adalah aparat negara, tetapi tidak masuk kategori ASN. Maka semua Penjabat Gubernur harus ASN (mutlak). Latar belakang Mendagri diduga berkaitan dengan nama- nama yang dibocorkan Ngabalin untuk kepentingan tertentu.
Kedelapan, bahwa munculnya nama- nama aparat TNI dan Polri dalam jabatan sipil Penjabat Gubernur diduga berkaitan dengan kepentingan politik dan aktivasi dwifungsi TNI dan Polri. Tindakan tersebut berbahaya dalam rangka proses demokrasi. Aparat TNI dan Polri yang ingin maju sebagai kepala daerah saja harus mundur dan menjadi warga sipil baru berhak mendaftar sebagai calon kepala daerah.
Kornas akan terus mengawal proses demokrasi demi terwujudnya supremasi sipil sebagai salah satu tuntutan reformasi 1998. Kornas akan tetap konsisten memperjuangkan tuntutan reformasi untuk mencabut seluruh bentuk dwifungsi TNI dan Polri meski sebagian besar aktivis 1998 saat ini hanya sibuk dalam aksi berebut remah- remah kekuasaan.
Siaran Pers Kornas
Sutrisno Pangaribuan
Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas).
Masuk Kuliah di Teknik Kimia USU Medan Tahun 1996 (Bukan Aktivis 98).