Jakarta, PostKadilan – Rapat Paripurna DPR RI pada Jumat (25/5) pagi itu akhirnya menyetujui dan mengesahkan Revisi Undang-Undang (UU) tentang Perubahan atas UU nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.
Dengan adanya landasan UU ini, akan memudahkan pihak kepolisian untuk melakukan penindakan. Bila pada UU sebelumnya, penindakan hanya dapat dilakukan bila teroris telah melakukan aksinya. Maka sekarang dengan adanya UU tersebut, kepolisian sudah dapat bertindak bila ada indikasi terorisme terhadap satu kelompok meskipun masih dalam tahap perencanaan.
Kepolisian juga diberikan wewenang untuk menangkap orang-orang yang melakukan dakwah yang mengajarkan radikalisme, karena munculnya teroris teridentifikasi berawal dari ajaran kebencian / radikalisme. Dengan adanya UU tersebut, posisi kaum teroris dan pendukungnya yang kerap disebut sel tidur akan semakin terjepit.
Pantauan PostKeadilan, desakan pengesahan terhadap revisi UU Terorisme ini muncul besar-besaran sejak terjadinya serangan teror berantai yang bermula dengan serangan tiga gereja di Surabaya Selasa (8/5) lalu. Dengan ini, presiden Joko Widodo tak perlu lagi mengeluarkan Peraturan Khusus Pengganti Undang-undang (Perppu), sebagaimana ancamannya saat mengunjungi lokasi serangan bom Surabaya, Selasa (8/5) lalu.
Dalam UU ini disepakati bahwa perbuatan yang bisa digolongkan terorisme adalah pidana ‘dengan kekerasan atau ancaman kekerasan… yang bermotif politik atau ideologi,” kata Ketua Pansus RUU Terorisme, Muhammad Syafi’i saat menyampaikan laporan jelang pengesahan di paripurna.
“Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan,” bunyi definisi itu sebagaimana dibacakan oleh Muhammad Syafi’i.
Perbuatan yang bisa digolongkan pidana terorisme menurut UU yang baru ini antara lain:
Merekrut orang untuk jadi anggota korporasi atau organisasi terorisme.
Sengaja mengikuti pelatihan militer atau paramiliter di dalam dan luar negeri, dengan maksud merencanakan, atau mempersiapkan, atau melakukan serangan terror.
Menampung atau mengirim orang terkait serangan teror.
Mengumpulkan atau menyebarluaskan dokumen untuk digunakan dalam pelatihan teror.
Memiliki hubungan dengan kelompok yang dengan sengaja menghasut untuk melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Di berbagai kesempatan, Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan pengesahan RUU yang merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 ini sudah genting. Dengan payung hukum baru, maka Polri dapat melakukan penindakan yang lebih luas.
Penindakan itu di antaranya adalah pihak berwenang dapat menetapkan organisasi seperti Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) sebagai organisasi teroris tanpa harus menunggu aksi-aksi dari mereka sebelum bisa ditindak.
“Dan setelah itu ada pasal yang menyebutkan bahwa siapa pun yang bergabung dalam organisasi teroris ini dapat dilakukan proses pidana. Itu akan lebih mudah bagi kita,” tegas Tito Karnavian. (R-01/Tim)