Jakarta, PostKeadilan – Maraknya permasalahan tanah akibat ulah ‘Mafia Tanah’, menjadi permasalahan yang diangkat pada RDP (Rapat Dengar Pendapat) Komisi II DPR RI.
Demi memberantas para mafia tanah itu, Jaringan Pendamping Kebijakan Pembangunan (JPKP) memberi masukan dan rekomendasi.
Pada Rekomendasi ini disampaikan Maret Samuel Sueken, Ketua Umum JPKP saat RDP dengan Komisi II DPR RI, Selasa (11/2/2025).
RDP Komisi II ini dipimpin Wakil Ketua Komisi II, Aria Bima. Hadir Kepala Kantor Wilayah BPN Jawa Barat, Kepala Kantor Wilayah Pertanahan Daerah Khusus Jakarta, Kepala Kantor Pertanahan BPN Kota Administrasi Jakarta Timur, Kepala Kantor Pertanahan BPN Kabupaten Bekasi dan Kepala Kantor Pertanahan BPN Kota Bekasi
Ada juga organisasi masyarakat peduli isu-isu pertanahan, yaitu Gerakan Masyarakat Setia Mekar (Gemas), Lembaga Anti Mafia Tanah Indonesia (LAMTI), Dr. John N. Palinggi dan Yayasan Pengawal Etika Nusantara (Yapena).
“Guna memperjuangkan masyarakat yang menjadi korban mafia tanah, JPKP memberikan masukan dan empat rekomendasi kepada DPR. Tujuan masukan dan rekomendasi ini untuk memberantas mafia tanah,” kata Maret Samuel Sueken.
Pertama, lanjut Maret, membentuk Komisi Agraria Nasional yang independen sama seperti KPK dan lainnya.
Kedua, Konflik pertanahan harus punya peradilan sendiri. Jadi Peradilan Pertanahan harus segera dibentuk sehingga sengketa tanah terpisah dari peradilan umum.
Ketiga, Komisi II DPR RI agar mengawasi dan meminta status penanganan masalah agraria yang masuk ke ATRBPN. Laporannya berdasarkan register surat masuk dan sejauh mana penanganannya dan dilaporkan secara terbuka.
Keempat, dengan banyaknya perbedaan luasan penguasaan dan pengolahan oleh pemilik konsensi HGU, HPL dan lain-lain, baik perusahan plat merah, swasta maupun pribadi, maka DPR agar segera meminta ATR/BPN untuk mengumumkan ke publik dan diawasi bersama terkait perbedaan luas yang tertera di HGU, HPL dan lain-lain versus kenyataan luas yang terjadi.
“Selalu luasan lahan yang dikelolah melebihi dari luasan yang ada di HGU, HPL, dll. Dan mirisnya selisih luas itu adalah milik masyarakat yang diserobot sehingga mengakibatkan konflik. Belum lagi masalah pajak yang tidak dibayar sehingga sangat merugikan negara,” pungkas Maret kepada PostKeadilan seperti yang ia katakan sehari sebelumnya, Rabu (12/2/2025) pagi. (Simare)