Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Headline NewsHukrim

INDIKASI KORUPSI DI TPST BANTAR GEBANG DAPAT SOROTAN TAJAM

119
×

INDIKASI KORUPSI DI TPST BANTAR GEBANG DAPAT SOROTAN TAJAM

Sebarkan artikel ini


Jakarta, PostKeadilan – Pengelolaan sampah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta selama 30 tahun di 3 Desa : Bantar Gebang, Ciketing Udik, Sumur Batu Kecamatan Bantar Gebang Kota Bekasi mendapat sorotan tajam dan menjadi pembicaraan serius dari aktivis lingkungan, anti korupsi dan politisi.
Hal tersebut terungkap dalam Diskusi dan Obrolan Rakyat Anti Korupsi (DOBRAK) yang digelar Dewan Pimpinan Pusat Nasional Corruption Watch (DPP NCW), di Jakarta, Jumat (6/10/2017).
Diskusi yang dipandu oleh Ketua Harian DPP NCW Alex Pang, mengungkapkan prolog dari awal pembebasan lahan TPA Bantar Gebang tahun 80- an, dan pasang surut pengelolaannya dari swakelola Pemprov DKI Jakarta dan Pihak ke-3 atau Mitra Kerja.
“Sebelumnya PT. Patriot Bangkit Bekasi (PBB) yang hanya modal kertas (Perjanjian Kerja Sama) dengan DKI, ternyata hanya mensub-kan semua kegiatan pengelolaan ke Sub kontraktor,” kata Alex.
Terakhir melalui tender investasi dimenangkan oleh PT. Godang Tua Jaya (GTJ) jo PT. Navigat Organic Energy Indonesia (NOEI) untuk 15 tahun. Namun Kerjasama diputus di tengah jalan dengan tuduhan 12 “dosa” GTJ- NOEI dan adanya indikasi korupsi dalam pengelolaan dari perjanjian dengan Pemprov DKI , oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (AHOK).
Senada dengan Alex, Ketua Umum DPP NCW Drs. Syaiful Nazar menyatakan bahwa memang dalam menyongsong pelantikan Gubernur DKI terpilih Anies Baswedan, para pihak mulai memainkan perannya untuk mendapatkan “kue proyek” dari tumpukan sampah di 108 Hektar lahan pembuangan sampah DKI di Kota Bekasi.
“Termasuk forum pertemuan Focus Group Discussion (FGD) di Wulan Sari Resto, tanggal 27 September 2017 (Aksi 279), yang dihadiri 2 politisi dari anggota DPRD DKI, M. Taufik dan Anggota Komisi A DPRD Kota Bekasi Aryanto,” beber Syaiful.
Sementara Bung Riza dan Ir. Chandra menyatakan tidak menghadiri Forum FGD itu, meskipun tertera nama dalam daftar hadir di netizen.
Dan menurut inisiator Kaukus Lingkungan Hidup Bekasi Raya, Agus Salim Tanjung menyatakan bahwa Benny Tunggul adalah ‘penumpang gelap’ di Kaukus Lingkungan Hidup Bekasi Raya. “Tapi sebagai anti rasuah kami hanya fokus dan komit mengawasi dan mengkawal adanya indikasi korupsi dalam pemberian hibah Rp. 25 Miliar untuk pembangunan sumur artesis dan penyerahan dana kompensasi 315 Miliar yang baru dikucurkan oleh Pemprov DKI ke Pemkot Bekasi untuk 18. 000 Kepala Keluarga,” jelas Agus.
“Apakah dilaksanakan sesuai anggaran yang ada dan apakah dana kompensasi disalurkan kepada yang berhak ?,” tegas Syaiful.
Sebelumnya, PostKeadilan juga mendapat informasi dari warga Perumahan Senopati, mengaku tidak menerima dana kompensasi itu. “Saya tidak menerima. Tak tau itu RT nya tdk membagi ke saya. Tetangga saya hampir semua dapat,” ujar seorang ibu enggan sebut namanya, Sabtu (30/9/2017).
Sementara itu Ketua Umum Aliansi Masyarakat Pemerhati Lingkungan Hidup dan B3 Indonesia (AMPHIBI) Agus Salim Tanjung,So.Si, menjelaskan panjang lebar bahwa kerusakan lingkungan hidup di tempat pembuangan sampah terpadu (TPST) Bantar Gebang tidak dapat disoroti secara tersendiri Karena kerusakan lingkungan yang sama juga terjadi dan mungkin lebih parah di tempat pembuangan akhir (TPA) Sampah Kota Bekasi di Sumur Batu dan TPA Sampah Kabupaten Bekasi di Desa Burangkeng termasuk pembuangan sampah illegal yang open dumping.
Agus Salim yang sukses menggerakkan roda AMPHIBI melalui program Kampung Peduli Pencemaran Lingkungan (KPPL) dengan konsep menyelesaikan masalah dengan memberi solusi menambahkan bahwa radius pencemaran udara, Tanah dan Sungai dari Sampah di Bantar Gebang, Sumur Batu dan Burangkeng setelah puluhan tahun telah mencapai titik membahayakan (hazardous).
Terutama air lindi yang melewati 5 perumahan dan akhirnya terbuang ke kali jambe mengalir hitam ke kali Cikarang Bekasi Laut (CBL) dan berakhir di teluk Jakarta.
Untuk itu aktivis yang akrab dipanggil Bang Tanjung ini menyepakati pembentukan Kelompok Kerja (POKJA) synergi NCW dan AMPHIBI untuk menyoroti dan berpartisipasi dalam perbaikan lingkungan dan sosialnya dan disepakati berkantor di sekretariat DPP NCW di Jakarta.
Anggota Dewan Pengelolaan Pengawasan dan Pemerhati Sampah Nasional (DP3SN) Riza V. Thahyadi, menyatakan bahwa Jumat pagi pra diskusi mereka sebagai angggota DP3SN baru meninjau langsung TPST Bantar Gebang untuk mendapat informasi dan kondisi terkini TPST Bantar Gebang.
Aktivis lingkungan ini, menyatakan bahwa kondisi Bantar Gebang pasca swakelola DKI malah membutuhkan biaya yang sangat besar dengan akan menswastanisasi unit-unit proyek di TPST Bantar Gebang. Hal ini didukung oleh anggota DP3SN lainnya, Ir. Chandra Hutasoit, yang mengungkap data bahwa dari ribuan pemulung eks Godang Tua yang tadinya dapat upah harian Rp. 1,5 juta per bulan, 1.000 orang telah diangkat menjadi pegawai harian DKI dengan Upah Minimum Regional (UMR) Rp. 3,5 jt/ bulan.
Chandra sangat menyoroti kelayakan hidup puluhan ribu para pemulung di TPST Bantar Gebang. Menurutya utuk memanusiakan mereka selayaknya sudah dibangun Rumah Susun (RUSUN) di Bantar Gebang. “Saat ini telah terjadi kekacauan kemanusian di komunitas pemulung dengan berbagai aspek kehidupan sehari-harinya,” ucap Chandra.
Untuk menghangatkan suasana diskusi, Mumuh Solihin MM, insan perfileman yang cukup lama bergabung di Citra Cinema pimpinan Dedy Mizwar menyambar dengan mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan sineas awal di lokasi Bantar Gebang dan dalam waktu dekat akan memproduksi Film documenter 30 tahun TPA Bantar Gebang dan Sinetron yang mengangkat aktivitas social (social interests) masyarakat di Bantar Gebang ke layar kaca. “Ide dasarnya juga dari Bung Alex”, katanya seraya menunjuk Alex, wartawan senior yang saat ini menjadi Ketua Harian DPP NCW.
Dua pembicara lain, H. Ismail Ibrahim dan I. Tawary menyoroti dari Sosial Politik. Ismail yang 2 Periode menjadi Ketua DPRD Kota Bekasi menyatakan secara politis dan pribadi dirinya dulu pernah menjadi pelaku sejarah menutup TPA Bantar Gebang selama 7 hari. Tapi ternyata sampah DKI Jakarta bukan hanya kepentingan Pemprov Jakarta. Ia adalah milik Negara karena di Ibukota Negara.
Sampah memuat segala aspek termasuk luar negeri.
“Bayangkan sampah istana tidak diangkut, sampah kedutaan numpuk, sampah pasar berserakan bau kemana-mana. Sayapun harus mencabut rekomendasi tutup TPA Bantar Gebang setelah mendapat penjelasan Antara Departemen (Interdep), Gubernur DKI Sutiyosi, Menteri Lingkungan Hidup, Nabiel Makarim, dan Presiden Megawati Soekarnoputri,“ terang Ismail.
“Jadi kepada rekan-rekan aktivis, janganlah berpikir menutup TPST Bantar Gebang. Karena sampai hari ini Pemprov DKI belum memiliki lahan lain sebagai penampung sampah, kecuali di Bantar Gebang Kota Bekasi,” lirih Ismail.
Dipihak lain Tawang menyoroti adanya politisasi TPST Bantar Gebang dari Sidak komisi II DPRD Kota Bekasi pasca pelantikan Gubernur DKI Jakarta. “Intinya semua stake holder tidak mau baunya tapi mau uangnya. Karena besar putaran uang di situ. Jadi wajar kalau muncul juga para penumpang gelap yang ingin bermain didalamnya. Karena TPST Bantar Gebang ini strategis dimainkan dalam kancah sosial dan politik,” kliknya singkat. Simare/hms NCW

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.