Medan PostKeadilan. Manuver Ali Mochtar Ngabalin (Ngabalin), Tenaga Ahli Utama (TAU) Kantor Staf Kepresidenan (KSP) membocorkan hasil sidang Tim Penilai Akhir (TPA) terkait pengsian posisi Penjabat (Pj.) Gubernur, akhirnya menghadirkan polemik. Berbagai reaksi publik muncul karena untuk kesekian kalinya Ngabalin offside. Bertindak di luar batas kewenangannya sebagai pembantu Moeldoko, bukan pembantu Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ngabalin memosisikan diri sendiri seperti juru bicara Presiden Jokowi selaku ketua TPA. Ngabalin menjadi narasumber tunggal hasil sidang TPA yang diklaimnya telah memutuskan sepuluh (10) nama Pj. Gubernur.
Sejak dibentuk sebagai lembaga yang setara dengan kementerian, publik belum mendapat informasi lengkap tentang fungsi Kantor Staf Kepresidenan (KSP). Jika saat ini KSP dikenal dan dibahas publik, itu karena perebutan kekuasaan Partai Demokrat antara Moeldoko (Kepala KSP) dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Eksistensi KSP ada hanya karena pejabatnya sering dimintai pendapat atau diundang sebagai narasumber pada berbagai acara televisi. Ngabalin yang bukan juru bicara Presiden Jokowi maupun humas Istana Negara berjasa membuat KSP memiliki eksistensi. Selain itu, KSP yang tugasnya hanya koordinasi nyaris tidak bermanfaat.
Pernyataan Ngabalin Memicu Polemik
Jika ditelusuri semua berita yang beredar luas terkait hasil TPA, maka Ngabalin menjadi satu- satunya narasumber berita. Padahal berdasarkan metode Rudyard Kipling penulis berkebangsaan Inggris, sebuah berita seharusnya memenuhi unsur (5W+1H). Maka informasi tunggal yang dibocorkan oleh Ngabalin tidak seharusnya dijadikan berita (nasional). Sebuah informasi juga harus diuji dengan “Cover Both Side”, sebagai proses validasi sehingga berita tersebut lebih kuat. Berdasarkan hal tersebut, maka informasi yang dibocorkan Ngabalin tidak sesuai metode Kipling dan tidak “cover both side”. Sehingga tidak dapat dijadikan rujukan oleh publik, meskipun telah beredar luas.
Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa pasca KSP dipimpin oleh Moeldoko, terutama setelah Ngabalin direkrut sebagai TAU KSP, Ngabalin seiring bertindak seperti Jubir Presiden Jokowi. Media pers pun kerap menjadikan KSP sebagai narasumber terkait istana. Padahal seluruh aktivitas Presiden di Istana Negara dikelola dan dikendalikan oleh Menteri Sekretaris Negara, Pratikno. Sehingga informasi terkait kegiatan dan produk kegiatan di Istana Negara sejatinya berada dibawah kendali dan koordinasi Pratikno, bukan Moeldoko, apalagi Ngabalin. Hanya informasi dari Pratikno dan Biro Pers Istana yang layak dijadikan sebagai informasi mewakili istana, bukan dari Moeldoko apalagi Ngabalin.
Warga Papua Meminta Pj. Gubernur Papua OAP
Ngabalin sukses melakukan “test the water” dengan membocorkan hasil sidang TPA. Sejumlah perwakilan masyarakat Papua pun akhirnya bereaksi atas nama Pj. Gubernur yang dibocorkan Ngabalin. Reaksi berbagai kelompok masyarakat Papua sebagai sinyal awal bahwa kehendak rakyat Papua berbeda dengan yang dibocorkan Ngabalin. Sehingga jika nama yang dibocorkan Ngabalin tetap dilantik sebagai Pj. Gubernur Papua, maka akan penolakan dari rakyat Papua.
Oleh karena itu, untuk menghindari gelombang reaksi rakyat yang lebih besar, maka diminta kepada Presiden Jokowi untuk meninjau kembali hasil sidang TPA yang dibocorkan Ngabalin. Secara khusus bagi Pj. Gubernur Papua, Presiden Jokowi diminta memutuskan dan menetapkan orang asli Papua (OAP) sebagai Pj. Gubernur Provinsi Papua. Provinsi Papua harus disamakan dengan seluruh Provinsi di Tanah Papua yang saat ini juga dipimpin oleh Pj. Gubernur OAP. Seluruh wilayah Papua harus dipandang, diperlakukan sama dan setara, serta tetap menjadi satu kesatuan yang utuh sebagai Papua.