UMS akhirnya tetap menjadi juara divisi dua setelah di pertandingan ketiga pada 13 April 1930 di lapangan BVC, berhasil lagi-lagi menang dengan skor 2-1. Mereka meskipun dikerjai lawan yang didukung pengurus asosiasi, UMS tetap sabar, berjuang, dan menang. Begitulah cara menghadapi persoalan yang elegan, bukan dengan marah, patah arah, apalagi melakukan tindakan anarkis dan memalukan.
Petasan boeat katiga kalinja disoeloet dan ini kali ada jang paling lama, hingga asepnya seperti taboenan!…
UMS 2 tetep boleh gondola itoe gelaran Kampioen, kerna sekarang tidak ada portas-portesss lagi! Kitapoenja pengatoeran slamet jang kadoe kalinja…
Bisa jadi kita menengok kembali ke masa lalu yang baik, untuk memetik pelajaran untuk maju di masa mendatang. Entah itu PSSI yang kerap sesuka hatinya membuat aturan—bergantung pada kemauan sponsor–, atau perkumpulan yang seharusnya mendisiplinkan diri dalam semua hal dalam menjaga sportivitas, dan tentu saja masyarakat yang seharusnya menikmati pertandingan dan bukan menjadi korban yang tak perlu. (Red)