Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Headline NewsJakarta

Dewan Pers Tuai Pro dan Kontra, Perlukah Mandat Penguatan Dewan Pers Dicabut?

3
×

Dewan Pers Tuai Pro dan Kontra, Perlukah Mandat Penguatan Dewan Pers Dicabut?

Sebarkan artikel ini

Organisasi-organisasi pers yang dulunya memberi mandat penguatan peran Dewan Pers tidak diakui sebagai konstituen secara sepihak oleh Dewan Pers.

Padahal, tanggung-jawab Dewan Pers untuk melakukan asistensi dan pembinaan agar organisasi pers sesuai standar yang ditetapkan bersama.

Fakta ini telah menjadi sejarah kelam bahwa organisasi-organisasi pers yang memberi mandat kepada Dewan Pers untuk penguatan peran Dewan Pers justru dikhianati.

Pola penerapan kebijakan Dewan Pers pun terhadap media-media yang marak bermunculan di seluruh penjuru tanah air hampir sama.

Ketika kebijakan Standar Perusahaan Pers diterbitkan, perusahaan pers disuruh mendaftar dan diverifikasi.

Lalu yang tidak punya modal untuk mendaftarkan perusahaanya ke Dewan Pers di Jakarta kemudian dilabeli atau dipotret sebagai perusahaan media abal-abal dan didirikan untuk tujuan memeras.

Tanggung jawab Dewan Pers untuk melakukan pembinaan terhadap kehidupan pers nasional tidak terjadi pada kondisi ini. Dewan Pers malah sibuk memotret media yang belum diverifikasi sebagai media abal-abal.

Trik ini untuk menekan media agar berbondong-bondong mendaftarkan medianya masing-masing demi selembar pengakuan sebagai media terverifikasi kendati amanat UU Pers bentuknya adalah hanya mendata perusahaan pers.

Tapi terjemahannya adalah memverifikasi perusahaan pers. Itu (verifikasi perusahaan pers) menjadi identik dengan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers atau SIUPP di era Orde Baru.

Sejarah kelam kemerdekaan pers itu seolah lahir kembali menjelma menjadi bentuk surat bukti Verifikasi Perusahaan Pers.

Undang-Undang Pers tahun 1999 lahir dengan nafas kebebasan pers agar perusahaan pers bebas didirikan tanpa ada persyaratan tambahan, selain syarat Berbadan Hukum Indonesia.

Itu sejarahnya dan kehendak pelaku sejarah kemerdekaan pers yang berhasil menyederhanakan pendirian perusahaan pers dari trauma SIUPP masalah lalu.

Bahwa memang diakui, penyalahgunaan profesi wartawan dan penyalahgunaan media dengan tujuan memeras atau meneror seseorang terus terjadi di berbagai daerah.

Penulis sepakat hal itu tidak boleh terjadi dan harus dihentikan.

Kemudahan mendirikan perusahaan pers adalah hadiah yang diwariskan pejuang kemerdekaan pers, namun menjadi tanggung jawab kita sekarang ini dalam pelaksananya.

Peningkatan kualitas media harus menjadi tanggung jawab semua pihak, yakni wartawan, perusahaan pers, dan terutama organisasi pers dan Dewan Pers.

Semua wartawan pasti sepakat bahwa pemerasan dan teror terhadap siapapun menggunakan nama media dan profesi wartawan adalah perbuatan pidana dan tidak terpuji, serta melanggar kode etik jurnalistik.

Nah, persoalan lain yakni verifikasi perusahaan pers!!!

Awal mulanya tujuan verifikasi perusahaan pers adalah untuk pendataan dan peningkatan kualitas media.

Namun faktanya, implementasinya sudah bergeser menjadi dokumen persyaratan sebagai bukti legalitas perusahaan pers.

Penerapan kebutuhan verifikasi perusahaan pers bukan bertujuan untuk peningkatan kualitas media, namun lebih pada azas legalitas yang menyerupai perijinan, atau yang tidak mengantonginya akan diangap tidak layak beroperasi.

Faktanya, banyak sekali media terverifikasi DP masih terseok-seok melanjutkan operasionalnya. Bahkan hampir seluruh media di Indonesia, di luar media mainstream, hidup segan mati tak mau.

Media terverifikasi Dewan Pers sekalipun tidak menjamin kualitas dan kehidupan medianya diperjuangkan oleh Dewan Pers.

Pertanyaannya, apakah Dewan Pers menjalankan tugas “Mengembangkan Kemerdekaan Pers” dan “Meningkatkan Kehidupan Pers Nasional” atau hanya sibuk dengan membuat peraturan dan melaksanakan kegiatan rutin yang tidak bermanfaat secara langsung bagi kehidupan pers nasional ?

Kenyataannya, selama Dewan Pers dibentuk kembali pada tahun 1999, perusahaan media harus berjibaku sendiri melaksanakaan upaya meningkatkan kehidupan pers nasional.

Belanja iklan nasional yang mencapai seratus triliunan rupiah lebih setiap tahun dibiarkan saja oleh Dewan Pers untuk dinikmati hanya oleh segelintir konglomerat media.

Dewan Pers justeru sibuk membuat aturan legalisasi kerja sama media dengan pemerintah daerah dengan Surat Edarannya yang ditujukan kepada pemerintah agar kerja sama media dengan pemerintah harus media yang terverifikasi Dewan Pers.

Tidak sedikitpun menyentuh upaya belanja iklan nasional ikut dinikmati media lokal yang jumlahnya mencapai puluhah ribu.

Dewan Pers bukannya sibuk mencari solusi agar belanja iklan bisa terserap atau terdistribusi ke daerah-daerah, justru disibukan dengan menjalankan propaganda negatif terhadap media-media yang belum terverifikasi sebagai media abal-abal dan tidak layak bekerja sama dengan pemerintah.

Tak heran, Kementrian Kominfo dengan leluasanya membuat petunjuk tekhnis bagi Dinas Kominfo se Indonesia agar pemerintah daerah menetapkan salah satu persyaratan kerja sama dengan media wajib perusahaannya terverifikasi Dewan Pers.

Kondisi ini sesungguhnya memalukan dan merusak fungsi sosial kontrol pers terhadap pemerintah.

Dewan Pers dan Kemenkominfo telah dengan sadar dan terang benderang melegalkan media ‘menjual’ idealismenya dengan menetapkan kebijakan yang dianggap sah melalui keberlakuan Peraturan Dewan Pers Nomor 03/Peraturan-DP/X/2019 tentang Standar Perusahaan Pers dalam persyaratan kerja sama media dengan Pemerintah.

Ironis, Tapi ini fakta bukan hoax

Media lokal terjebak dalam kondisi ini karena tawaran belanja iklan tidak ada. Tidak ada pilihan lain selain “maaf” menjual idealisme pers dengan mengikat kontrak kerja sama dengan pemerintah demi melanjutkan operasional media.

Dewan Pers seharusnya wajib menjaga independensi media dan wartawan agar tidak terkontaminasi kepentingan pemerintah.

Caranya dengan memperjuangkan sumber pemasukan media dari belanja iklan nasional terdsitribusi ke seluruh daerah.

Pada kenyataannya lebih dari 100 triliun rupiah belanja iklan nasional setiap tahun tidak ikut dinikmari media lokal dan hanya dikuasai oleh segelintir konglomerat media yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh jari tangan manusia.

Pada poin ke 5 penguatan peran Dewan Pers , salah satunya diatur tentang standar gaji wartawan dan karyawan pers.

Sayangnya, sampai sekarang tidak ada penetapannya dari Dewan Pers berapa standar gaji yang benar dan layak bagi wartawan.

Wartawan media mainstream sekalipun terbukti digaji pas-pasan tapi Dewan Pers tidak melakukan apa-apa.

Padahal di dalam Pasal 9 UU Pers mengatur kewajiban perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya.

Pada prakteknya, masih ada wartawan yang bekerja di media nasional yang penggajiannya berdasarkan jumlah berita yang naik tayang di medianya. Dan fakta umum yang terjadi adalah hampir sebagian besar media lokal tidak menggaji wartawannya.

Apakah ada upaya Dewan Pers mengatasi persoalan-persoalan di atas sebagai langkah mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional ?

Inilah fakta-fakta sesungguhnya bahwa Dewan Pers telah gagal meralisasikan mandat dan amanat serta fungsi yang diberikan oleh ke 29 Organisasi Pers pada tahun 2006 lalu untuk penguatan peran Dewan Pers.

Bisa saja seluruh organisasi pers yang berbadan hukum di Indonesia, baik yang menjadi pelaku pemberi mandat penguatan kepada Dewan Pers, maupun organisasi pers yang ada sekarang dan berbadan hukum, mencabut mandat Penguatan Terhadap Peran Dewan Pers. Namun solusinya bukan seperti itu.

Sebagai wartawan yang memiliki pengalaman dari tingkat paling bawah yaitu reporter, penulis melihat kehidupan pers nasional tidak menuju pada peningkatan sejak Undang-Undang Pers tahun 1999 diberlakukan.

Kemerdekaan Pers Indonesia makin terpuruk. Indeks kemerdekaan pers menurut lembaga riset internasional Reporter Without Borders, bahkan pernah menempatkan Indonesia berada pada level bawah.

Media nasional nyaris tak terlihat dalam melakukan sosial kontrol sampai pada kehidapan masyarakat di level bawah.

Potret kemiskinan rakyat di berbagai daerah masih terjadi namun media seolah diam membisu.

Pemandangan warga hidup di atas gerobak dan di emperan toko, serta di kolong-kolong jembatan masih terjadi di mana-mana. Padahal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 34 berbunyi : “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Media mainstream hanya sibuk dengan konten berita politik pemerintahan yang itu-itu saja.

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.