B. Peran Pemimpin Kristen Memasuki Era Revolusi Industri 4.0
Teknologi sudah ada sejak manusia diciptakan. Drie yang dikutip oleh Djoys Anneke R (Djoys A.K, 2019) mengemukakan bahwa di dalam Alkitab menerangkan bahwa Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya (Imago Dei) dan memperlengkapi manusia dengan kekuatan berpikir (rasio) (Kej. 1:27-31) agar manusia mengali potensi diri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya walaupun teknologi di Alkitab meski tidak secanggih saat ini. Hal ini menjelaskan bahwa teknologi muncul di Alkitab karena Allah memberikan hikmat dan kepandaian kepada manusia sehingga manusia menciptakan, menggunakan dan mengembangkan teknologi, namun Allah yang mengontrol semuanya agar manusia tidak menyombongkan diri atau menyamakan dirinya dengan Allah sebagai pencipta.
Kepemimpinan Kristen yang diterapkan dan dipahami sebagai bidang studi lintas disiplin yang berpedoman pada kedua disiplin ilmu teologis dan lainnya (Kessler & Kretzschmar, 2015). Oleh sebab itu diperlukan pemimpin Kristen yang menguasai dan menggunakan teknologi, informatika dan era digital baik secara media sosial maupun literasi dapat digunakan sebagai bagian agen perubahan di era revolusi industry 4.0 (Suhadi dan Yonathan AA, 2020).
Ada beberapa peran gembala sidang sebagai pemimpin kristen yang perlu dilakukan secara serius dan komprehensif terhadap era revolusi industri 4.0, yaitu:
a) Pendekatan Spiritual
Yesus adalah pemimpin yang memiliki spiritual yang baik. Wijaya (2018:131) mengungkapkan bahwa kepemimpinan Kristen bukan semata-mata soal organisasi, melainkan terkait dengan aspek spiritual. Pendekatan spiritual merupakan pendekatan yang memperhatikan dorongan moral etika, iman, dan kasih terhadap orang lain (Leba, 2017:78). Memiliki spiritualitas kepemimpinan yang baik dibuktikan dengan ada waktu pribadi untuk berdoa, ketekunan untuk mempelajari Kitab Suci, serta setia dalam pekabaran Injil.
Dalam menjalankan pendekatan spiritual, Alkitab memberikan pedoman yang tertulis di dalam Kitab Galatia, Kitab Galatia memberikan pedoman menghadapi kedagingan dengan “Hiduplah oleh Roh Kudus” (Gal. 5:16), “dipimpin oleh Roh” (5:18) dan “menghasilkan buah-buah Roh” (ayat 22:23). Secara singkat bahwa ada disiplin rohani, yaitu: menyalibkan hawa nafsu daging dan keinginannya (Gal. 5:19-21 dan 24). Kedisiplinan rohani dan penguasaan diri bagi gembala sidang dan jemaat ini wajib dilakukan karena menjadi sentral dalam perjalanan kehidupan seorang untuk memuliakan Allah dan sebagai pengarahan terhadap perkembangan teknologi tanpa batas ini.
b) Pendekatan Edukatif
Di era revolusi industri 4.0, semua bidang kehidupan akan dihadapkan dengan fenomena disrupsi, yaitu: pergantian sistem lama dengan sistem baru yang berbasis teknologi, tak terkecuali di bidang pendidikan. Iswan dan Bahar (2018:32) menjelaskan bahwa pendekatan edukatif perlu dilakukan karena di era revolusi industri 4.0 ada kesenjangan antara inovasi dan kesiapan manusia untuk bersaing di era ini. Salah satu bentuk inovasi dalam era revolusi industri 4.0 adalah pemanfaatan media sosial yang memberikan informasi kepada masyarakat dan mengubah posisi masyarakat dari pemirsa yang pasif menjadi produsen informatif yang aktif. Pada zaman teknologi sangat canggih ini ditandai dengan Smartphone, Internet, Facebook, Twitter, Whatshapp, Line, Instagram, games online, tiktok, dll (Talizaro T, 2016:126)
Setiap individu dan para gembala sidang dituntut mengali segala sumber daya manusia dan wajib membangun pedoman etika Kristen dalam menggunakan media sosial dan mendorong komunitas bertanggung jawab menghindari membagi konten negatif, tidak menyebarkan hoaks dan berbagai ujaran kebencian, dan yang lainnya. Derasnya hoaks di era pasca kebenaran ini mempertajam polarisasi di masyarakat dan merusak relasi antar anggota keluarga dan antar sahabat, seperti terlihat jelas di Pemilihan Umum 2019. (Aminah dan Sari, 2019). Dalam menghadapi hoaks atau berita palsu, gembala sidang harus meningkatkan kemampuan untuk memahami, menganalisa dan menggunakan multimedia.
Cloete (2015:2) mengungkapkan bahwa orang yang memiliki pandangan bahwa teknologi merupakan ancaman, melihat sifat teknologi yang meresap sebagai sesuatu yang negatif dan berpotensi menyebabkan gangguan dalam hal hubungan tatap muka. Pemimpin harus menyadari bahwa ada generasi yang lebih senior yang takut dengan teknologi oleh karena itu pemimpin harus memberikan penjelasan yang jelas terhadap teknologi sehingga teknologi tidak perlu dihindari atau dianggap sebagai ancaman hidup. Oleh sebab itu, pendekatan edukatif perlu dilakukan sehingga dapat memberi pemahaman yang baik tentang bermedia digital. Contoh kasus yang lebih ekstrim penulis amati adalah adanya perbedaan pendapat dalam gereja tentang vaksin di masa COVID 19 dan pengunaan chip di dalam vaksin.
Masyarakat Indonesia memilih untuk tidak mengunakan vaksin dan tidak rela menerima konsekuensinya seperti adanya isolasi dari perkembangan dunia. Perbedaan pendapat ini penulis temukan pada satu daerah di Jakarta, di mana anggota gereja tersebut menolak vaksin dan penggunaan chip di dalam vaksin. Saat penulis menyampaikan materi terkait isu teknologi di gereja tersebut, gejolak penolakan terhadap vaksin dikemukakann dalam forum. Mencermati permasalahan tersebut perlu usaha edukatif untuk menolong anggota gereja memahami isu tersebut dan melakukan pendekatan edukatif dengan cara yang lebih sabar dengan tetap memperhatikan konteksnya.