Revolusi Pers Indonesia
Wikipedia Indonesia menerangkan tentang dialektika revolusi bahwa revolusi merupakan suatu usaha menuju perubahan menuju kemaslahatan rakyat yang ditunjang oleh beragam faktor, tak hanya figur pemimpin, tetapi juga segenap elemen perjuangan beserta sarananya.
Logika revolusi merupakan bagaimana revolusi dapat dilaksanakan berdasarkan suatu perhitungan mapan, bahwa revolusi tidak bisa dipercepat atau diperlambat, ia akan datang pada waktunya.
Atas kondisi di atas, tak heran organisasi-organisasi non konstituen akhirnya memilih melakukan Revolusi Pers dengan membentuk Dewan Pers Indonesia yang independen untuk keluar dari belenggu stigma ‘abal-abal’ dan penumpang gelap kemerdekaan pers yang ditebar Dewan Pers.
Pergerakan revolusi pers kemudian berlanjut. Untuk mengajari Dewan Pers tentang cara menghadapi media yang disebutnya abal-abal, Dewan Pers Indonesia melalui Serikat Pers Republik Indonesia sudah membetuk tim pembinaan media berita online.
Tahap awal sudah ada 25 media online yang dipasang perangkat SEO (Search Engine Optimise) untuk meningkatkan kekuatan media pada mesin pencarian google.
Dengan cara itu, media-media yang tadinya disebut abal-abal, kini sudah bisa sejajar dengan media-media mainstream pada mesin pencarian google.
Bahkan beberapa media yang berhasil dibangun kekuatannya melalui SEO, beritanya selalu menjadi berita utama pada mesin pencarian Google dengan kata kunci yang dimasukan dalam naskah dan judul berita. Media-media tersebut juga sudah mulai mendapatkan pemasukan dari iklan google adsen.
Metode pembinaan itu yang tidak dilakukan Dewan Pers selama ini. Media-media yang dihina abal-abal itu dibiarkan selama bertahun-tahun termarjinalkan.
Dewan Pers Indonesia melalui DPP SPRI akhirnya mengambil peran itu untuk membina media-media online tersebut secara bertahap. Targetnya 1000 media sampai tahun 2023. Sisanya menunggu anggaran atau dukungan semua pihak agar 40 ribuan media yang disebut abal-abal itu bisa dibina menjadi media professional dan dapat memberikan kesejahteraan bagi wartawannya.
Tak berhenti sampai di situ, Dewan Pers Indonesia melalui SPRI juga mendirikan Lembaga Sertifikasi Profesi Pers Indonesia untuk memberi contoh kepada Dewan Pers bagaimana membangun kualitas wartawan Indonesia melalui sertifikasi kompetensi yang diakui negara dan berstandar nasional yang diakui dunia internasional.
Lantas apa saja yang selama ini tidak dilakukan Dewan Pers untuk meningkatkan kualitas kehidupan pers nasional sebagaimana diamanatkan Pasal 15 Undang-Undang Pers : “Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen.”
Belanja iklan nasional yang setiap tahun mencapai lebih dari 100 triliun rupiah hanya dibiarkan selama bertahun-tahun dikuasai atau dimonopoli segelintir konglomerat media di Jakarta.
Media online Bisnis.com melaporkan data riset dan analitik Nielsen, bahwa belanja iklan nasional tahun 2021 lalu mencapai Rp259 triliun, naik 13 persen jika dibandingkan dengan 2020. Torehan belanja iklan itu dihitung berdasarkan angka gross rate card di sejumlah media, seperti TV, cetak, radio, dan digital. (Belanja Iklan 2021 Capai Rp259 Triliun, Sektor Online Service Mendominasi – Bisnis.com)
Pada media yang sama juga dilaporkan, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memproyeksikan nilai belanja iklan atau advertising axpenditure (Adex) pada tahun 2022 ini dapat menembus Rp400 hingga Rp416 triliun. (Jelang Pemilu, Ekonom Proyeksikan Belanja Iklan Tahun Ini Tebus Rp416 Triliun – Bisnis.com)
Fakta data dan informasi yang diurai di atas adalah bukti bahwa mayoritas masyarakat pers Indonesia tidak merasakan manfaat dari keberadaan Dewan Pers.
Belanja iklan nasional tidak pernah diperjuangkan untuk terdistribusi hingga ke daerah-daerah. Semua hanya dinikmati oleh perusahaan pers raksasa yang ada di Jakarta saja.
Tak heran, Anggota Dewan Pers selama ini hanya diisi oleh elit wartawan dan pengusaha media untuk menjaga bisnis para konglomerat media yang meraup penghasilan dari monopoli belanja iklan tersebut dengan nilai yang sagat fantastis.
Pajak iklan yang selama ini dipungut dari media langsung masuk ke kas negara lewat kantor pajak. Potensi Pendapatan Asli Daerah dari belanja iklan tidak masuk karena Perda Tentang Pajak Reklame tidak berlaku bagi iklan yang dimuat melalui sarana media cetak, TV, Radio, dan digital media.
Dewan Pers Indonesia sudah memulai melaksanakan pembahasan penyusunan Perda tentang Belanja Iklan yang nantinya dipungut oleh Pemerintah Provinsi. Setiap iklan di media cetak, TV, Radio, dan digital media seharusnya dikenakan pajak iklan (sejenis Pajak Reklame) yang belum ada Peraturan Daerahnya. Kegiatan tersebut sudah dimulai dibahas di Medan Sumatera Utara pada tahun 2021.
Dengan konsep Perda Pajak Iklan Media Massa ini maka diharapkan perusahaan nasional yang akan mempromosikan produk barang dan jasa dapat menyisikan belanja iklannya untuk didistribusi ke daerah melalui perusahaan cabang atau kantor perwakilan distributor barang dan jasa di setiap provinsi.
Jika konsep ini berhasil maka media atau perusahaan pers lokal akan kebanjiran iklan promosi dari perwakilan perusahaan-perusahan distributor barang dan jasa di setiap provinsi.
Menggugat Eksistensi Dewan Pers
Carut-marut kebijakan dan sepak terjang Dewan Pers yang kontroversial mengundang protes keras dari dalam maupun luar konstituen Dewan Pers.
Kelompok non konstituen yang dimotori Serikat Pers Republik Indonesia sempat menggugat eksistensi Dewan Pers di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Di tingkat PN gugatan ditolak dan Peraturan Dewan Pers dianggap sebagai peraturan perundang-undangan oleh putusan Majelis Hakim.
Putusan Banding di tingkat Pengadilan Tinggi DKI, Majelis Hakim membatalkan putusan PN Jakarta pusat dan menerima permohonan banding pemohon. Namun dalam putusannya tetap menolak gugatan pemohon dengan pertimbangan bahwa Mahkamah Agung yang berwenang membatalkan Peraturan Dewan Pers.
Untuk mengajukan kasasi di MA, syarat membatalkan peraturan perundangan-undangan adalah peraturan tersebut harus sudah masuk dalam lembar negara.
Namun, seluruh Peraturan Dewan Pers ternyata tidak satupun tercatat dalam lembar negara sehingga tidak bisa dibatalkan MA karena bukan merupakan peraturan perundangan dan penerapannya tidak mengikat.
Penulis selaku warga negara yang memiliki hak konstitusi yang dirugikan oleh pasal dalam UU Pers, kemudian mengajukan uji materi UU Pers di Mahkamah Konstitusi bersama Soegiharto Santoso, dan Hans Kawengian sebagai wartawan, pimpinan organisasi pers, dan pimpinan media.
Menariknya, dalam sidang di MK Presiden RI Joko Widodo melalui kuasa hukum Menteri Hukum dan HAM dan Mentri Kominfo mengatakan Dewan Pers hanya sebagai fasilitator bukan regulator yang membuat peraturan di bidang pers.
Dalam keterangan Dewan Pers di persidangan juga mengakui yang berhak membuat peraturan pers adalah organisasi-oganisasi pers. Dewan Pers hanya memfasilitasi keputusan atau konsensus bersama organisasi-organisasi pers itu menjadi peraturan Dewan Pers.
Keterangan pihak terkait yakni pimpinan organisasi pers konstituen Dewan Pers di depan majelis hakim bahwa pihaknya tidak dirugikan hak konstitusinya dengan adanya peraturan Dewan Pers.
Sementara di luar persidangan, salah satu konstituen yakni Serikat Media Siber Indonesia justeru melayangkan protes keras atas kesewenangan Dewan Pers yang tidak melaksanakan keputusan bersama organisasi-oganisasi pers konstituen mengenai peninjauan Statuta Dewan Pers.
SMSI juga menyurat ke Presiden RI agar tidak menetapkan SK Dewan Pers yang sudah diajukan ke Presiden.
Menurut surat yang dilayangkan SMSI dan ditandatangani Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal ke Dewan Pers dan Presiden, Dewan Pers menerapkan standar ganda. Ada organisasi perusahaan pers yang hanya memiliki 7 anggota dan tidak memiliki pengurus di minimal 15 provinsi tapi ditetapkan sebagai konstituen dan justeru memiliki 2 orang keterwakilan di Dewan Pers.
Sementara SMSI yang memiliki ribuan anggota di seluruh Indonesia tapi tidak ada satupun keterwakilannya di keanggotaan Dewan Pers dalam kepengurusan baru periode 2022-2025.
Gugatan terhadap eksistensi Dewan Pers ini makin kencang setelah muncul tulisan mengenai dampak dari Peraturan Dewan Pers yang tidak masuk dalam lembar negara dan system pemilihan anggota Dewan Pers yang dinilai cacat hukum.
Kondisi ini tentunya menggambarkan Dewan Pers telah gagal menjalankan amanahnya sebagaimana diatur dalam UU Pers. Dewan Pers justeru menciptakan kekacauan dan merusak tatanan kehidupan pers nasional.
Kewenangan organisasi-organisasi pers menata dan meningkatkan kehidupan pers nasional diambil alih Dewan Pers. Akibatnya, Revolusi Pers di Indonesia tak bisa dihindari.
Era digital informasi yang makin tak terbendung menuntut peran organisasi pers yang dominan untuk mengembalikan marwah kebebasan pers kepada wartawan.
Saatnya kehidupan Pers Indonesia diatur oleh wartawan bukan oleh pengusaha media dan kaum elit. Pemerintah harus buka mata lebar-lebar bahwa Revolusi Pers merupakan jawaban dari kekacauan yang terjadi selama ini.